Minggu, 21 November 2010

ETIKA DALAM PRAKTIK PERPAJAKAN

Seperti Kita ketahui, bahwa pada waktu terakhir ini, perpajakan disoroti berbagai pihak dalam berbagai sudut pandang. Sebagai organisasi yang dinamis, yang mempunyai tugas pokok dan fungsi mengamankan penerimaan negara dalam APBN, Ditjen Pajak telah mendayagunakan sorotan tersebut sebagai sumber kekuatan dalam mengelola pajak. Artinya, di tengah tuntutan perubahan, serta harmonisasi dengan berbagai kebijakan di berbagai sektor dalam mendukung pembangunan nasional, walaupun tidak mudah, telah dilakukan berbagai perubahan ke arah pembaharuan dan modernisasi. Ini sejalan dengan misi kelembagaannya, yaitu senantiasa memperbaharui diri, selaras dengan aspirasi masyarakat dan teknokrasi perpajakan serta administrasi perpajakan yang mutakhir.

Tanggal 27 Desember 2006 merupakan tonggak sejarah bagi perjalanan perpajakan Indonesia. Saat itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meresmikan modernisasi administrasi perpajakan secara menyeluruh. Dikatakan menyeluruh, menyangkut subjek modernisasi. Sebelumnya, yang dilakukan modernisasi adalah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Kantor Wilayah (Kanwil). Secara manajemen, ini untuk melihat apakah proses modernisasi bisa berjalan atau tidak. Karena butuh sarana dan prasarana, teknologi, tenaga dan biaya yang tidak sedikit, dengan dukungan SDM yang handal.
Sejak 2002, dibentuk KPP Wajib Pajak Besar (Large Taxpayers Office, LTO) dan kanwilnya. Ini sebagai pilot proyek implementasi modernisasi administrasi perpajakan. Setelah berjalan baik, pada 2004 dibentuk KPP Madya (Medium Taxpayers Office, MTO) dan kanwilnya, yang dilanjutkan dengan KPP Pratama (Small Taxpayers Office, STO) pada 2005. Melihat kantor operasional (KPP dan Kanwil) yang modern telah memenuhi tuntutan pelayanan yang baik dalam kerangka good governance dan pelayanan prima, maka kantor pusat juga dimodernisasi. Paradigma organisasi seluruhnya diubah menjadi berdasarkan fungsi. Yakni, pelayanan, pemeriksaan, penagihan, penyidikan, dan lainnya. Sehingga tidak ada lagi direktorat atau bidang atau seksi yang khusus menangani jenis pajak PPh, PPN, maupun PBB.

Bila kita cermati peristiwa kudeta yang dilakukan terhadap Thaksin Shinawatra, Perdana Menteri Thailand (saat itu), pada September, ada hal menarik yang berkaitan dengan pajak. Media massa memberitakan penjualan perusahaan telekomunikasi milik keluarga Thaksin-Shin Corp-ke Temasek, Singapura, atas keuntungannya sebesar US$1,9 miliar dibebaskan dari pajak. Konon, pembebasan pajak inilah yang menjadi salah satu pemicu mulainya demonstrasi yang berlarut-larut. Kepercayaan kepada Thaksin menyurut dan akhirnya terjadi peralihan kekuasaan.
Peristiwa ini merupakan fenomena menarik. Masyarakat sudah makin kritis terhadap permasalahan pajak. Masyarakat telah mau, dan mulai ikut serta dalam menentukan pengenaan pajak yang berlaku terhadap semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Dalam arti, di hadapan pajak sama dengan hukum semua masyarakat (termasuk penguasa dan pejabat) adalah sama. Tidak boleh ada diskriminasi, apalagi dibebaskan pajaknya. Jika ada objek yang dikenakan pajak, haruslah membayar pajak, siapa pun dia. Masyarakat menganggap ada haknya di sana.
Keikutsertaan masyarakat secara langsung, sepanjang dalam rambu-rambu penegakan prinsip perpajakan, memang sangat diperlukan. Ini sebagai dukungan yang konstruktif dalam menunjang keberhasilan penarikan pajak. Karena, mayoritas masyarakatlah yang dikenakan pajak, dan sekaligus sebagai pembayar pajak. Sehingga wajar, bila ada subjek pajak yang tidak membayar, masyarakat tidak bisa menerima, seperti halnya di Thailand tersebut.

Di negara kita, keikutsertaan masyarakat dalam perpajakan sangat jelas, bahkan secara yuridis telah diatur sejak awal berdirinya Republik Indonesia, yakni dalam konstitusi negara. Saat itu, dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 telah dinyatakan dengan tegas oleh founding father, segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang. Dari aspek legislasi, berdasarkan undang-undang diartikan rakyat (melalui wakilnya di DPR) telah turut serta menentukan pengenaan, pemungutan, dan penarikan pajak dari subjek pajak.
Dari uraian dalam makalah ini akan dibahas mengenai:
1.Tanggung Jawab Akuntan Pajak
2.Etika Akuntan Pajak
3.Kompleksitas Aturan Perpajakan Vs Tuntutan Klien

1.Tanggung Jawab Akuntan Pajak

IRS mengemukakan bahwa tanggung jawab utama praktisi pajak adalah sistem pajak. Komisi IRS, Roscoe Egger dalam Armstrong (1993 : 85) menyatakan bahwa:
… suatu sistem pajak yang baik dan kuat tidak hanya terdiri dari entitas administrasi pajak saja, dalam kasus ini IRS. Hal tersebut juga harus terdiri dari Konggres, Administrasi dan komunitas praktisi. Bukan sebagai bagian yang terpisah pada masyarakat yang luas, tetapi lebih bekerja sama ke arah tujuan umum.
Direktur praktik IRS, Leslie Shapiro dalam Armstrong (1993 : 85) lebih menegaskan bahwa:
Ketika secara umum menyetujui bahwa praktisi pajak mempunyai kewajiban atas kemampuan, loyalitas dan kerahasiaan klien, hal ini disebut juga tanggung jawab praktisi atas sistem pajak yang baik. Tanggung jawab terakhir adalah pentingnya pervasive (peresapan).Dalam hubungan antara praktisi dan klien yang normal, kedua tanggung jawab dikenali dan dilaksanakan. Namun, situasi ini adalah sulit. Dalam beberapa situasi praktisi diperlukan untuk memutuskan kewajiban yang berlaku dan dalam pelaksanaannya dapat disimpulkan bahwa kewajiban atas sistem pajak yang tertingg. IRS bersandar pada praktisi pajak untuk membantu dalam mengatur hukum pajak dengan jujur dan adil dalam pelayanan dan pengembangan kepercayaan klien dalam integritas dan kepatuhan terhadap sistem pajak.

Menurut William L. Raby dalam Armstrong (1993 : 85) system pajak yang mendukung IRS akan menimbulkan perdebatan pajak. Oleh karena itu,praktisi lebih baik melayani publik dengan mengadopsi suatu sikap. Argumennya adalah:
Aturan etika yang fundamental dalam praktik perpajakan pada tingkat etika personal adalah praktisi pajak harus mengijinkan klien untuk membuat keputusan final. Praktisi tidak berhak mengganti skala nilai kliennya.
Disamping itu praktisi harus bertanggung jawab tidak menyediakan informasi yang salah untuk pemerintah.

2.Etika Akuntan Pajak
Dalam kaitannya dengan etika akuntan pajak, AICPA mengeluarkan Statemet on Responsibilities in Tax Practice (SRTP). Adapun isinya adalah sebagai berikut:
SRTP (Revisi 1988) No.1: Posisi Pengembalian Pajak
SRTP (Revisi 1988) No.2: Jawaban Pertanyaan atas Pengembalian
SRTP (Revisi 1988) No.3: Aspek prosedur tertentu dalam menyiapkan Pengembalian
SRTP (Revisi 1988) No.4: Penggunaan Estimasi
SRTP (Revisi 1988) No.5: Keberangkatan dari suatu posisi yang sebelumnya disampaikan di dalam suatu kelanjutan administrative atau keputusan pengadilan
SRTP (Revisi 1988) No.6: Pengetahuan Kesalahan: Persiapan Kembalian
SRTP (Revisi 1988) No.7: Pengetahuan Kesalahan: Cara kerja administrasi
SRTP (Revisi 1988) No.8: Format dan isi nasihat pada klien

3.Kompleksitas Aturan Perpajakan vs Tuntutan Klien
Pajak secara klasik memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi bujeter. Kedua, fungsi reguleren. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23
ayat 2, disebutkan bahwa “segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan
undang-undang.” Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki fungsi yang luas antara lain sebagai sumber pendapatan negara yang utama, pengatur kegiatan ekonomi,pemerataan pendapatan masyarakat, dan sebagai sarana stabilisasi ekonomi. Kalau kita lihat APBN, pajak selalu dituntut untuk bertambah dan bertambah. Pemerintah harus memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara.
Dalam struktur anggaran negara, seperti halnya negara kita bisa mencapai 75% diperoleh dari pajak. Kondisi inilah yang memicu pemerintah untuk membuat aturan-aturan perpajakan. Aturan perpajakan merupakan masalah yang sebaiknya menjadi prioritas bagi pemerintah supaya tidak terjadi tax evasion/tax avoidance.
Berikut ini disajikan kasus yang mencerminkan kompleksitas aturan perpajakan vs tuntutan klien:

a.Jeratan Pajak Ganda pada Dividen
Secara teori Indonesia menganut klasikal sistem. Artinya, ada pembedaan subyek pajak. Yaitu subyek pajak badan dan subjek pajak perseorangan. Yang bermasalah dalam pajak deviden adalah terjadi economic double taxation. Pengertiannya, sebelum dividen dibagi kepada pengusaha, dia merupakan laba perusahaan yang dikenakan pajak, atau disebut pajak korporat. Namun, ketika dibagi lagi kepada pemegang saham di korporat, pemegang saham itu harus dikenakan pajak lagi. Inilah yang disebut sebagai pajak ganda.
Sebagai perbandingan, Malaysia dan Singapura tidak lagi menggunakan pajak atas dividen. Mereka menggunakan kredit sistem. Yakni, pajak yang bisa dikreditkan kepada para pemegang saham di korporat. Sehingga, korporat hanya dimaknai sebagai sarana. Subyek pajak tetap melekat pada pribadi. Tak ada lagi pajak ganda yang membebani.

b.Sengketa Pajak
Kalau terjadi dispute, yakni hitungan wajib pajak (WP) dengan petugas pajak berbeda. Pada UU KUP 2000 kewenangan aparat Fiscus terlalu luas. Jika terjadi sengketa SPT, maka apapun yang akan dipakai adalah hitungan aparat pajak, dan hitungan itu harus dibayar lebih dahulu oleh WP sebesar 50 persen dari hitungan petugas pajak sebelum bisa dibawa kepada pengadilan pajak. Kalau hitungan WP yang dinyatakan pengadilan benar maka WP berhak menerima restitusi. Malangnya, uang restitusi itu kenyataannya tidak segera dibayarkan oleh Fiscus. Jika uang restitusi jumlahnya milyaran jelas saja mengganggu cash flow para pengusaha. Inilah persoalan yang menjadi momok dalam dispute antara WP dengan aparat pajak.
Untungnya, dalam UU KUP 28/2007 perhitungan SPT ditentukan secara bersama-sama. Jika ada perbedaan klaim angka, maka yang lebih dahulu dipakai adalah klaim WP. Sebelum masuk ke pengadilan pajak, WP hanya cukup membayar sebesar 50 persen dari klaim hitungan WP sendiri.

c.Tarif Pajak yang tinggi
Ketua Tax Centre UI, Tafsir Nurchamid dan pengusaha Anton J Supit mengatakan bahwa tarif yang tinggi kalau diturunkan punya dampak pada seretnya penerimaan negara. Padahal disaat yang sama pendapatan negara itu sebagian besar ditujukan untuk membayar hutang dan obligasi rekap. Meskipun semestinya menurut Anton J Supit penerimaan dari pajak itu digunakan untuk membangun infrastruktur.
Banyak kalangan perpajakan seperti Permana Agung, Gunadi, dan Haula Rusdiana mengatakan sebaiknya ada kebijakan untuk membuat tarif menjadi lebih rendah. Selain lebih kompetitif bagi dunia usaha, pajak yang rendah dianggap justru akan meningkatkan penerimaan negara karena semakin banyaknya potensi pajak yang terjaring. Satu triliun dari seratus orang jauh lebih baik ketimbang satu triliun hanya dari sepuluh pembayar pajak.

Tarif yang tinggi membuat yang bayar menjadi sedikit. Sehingga membuat banyak orang yang lain lebih sering menghindar dan kucing-kucingan dengan petugas pajak. Dalam pikiran mereka, sekali Anda punya NPWP sampai mati Anda akan dikejar oleh aparat pajak. Prinsip ini membuat mereka kalau bisa selalu baku atur atau main belakang dengan fiscus.

Sumber:
http://bintimuchsini.blogspot.com/2009/05/etika-dalam-praktik-perpajakan.html




Komentar:

Dalam struktur anggaran negara, seperti halnya negara kita perolehan dari
pajak bisa mencapai 75%. Kondisi inilah yang memicu pemerintah untuk membuat aturan-aturan perpajakan. Aturan perpajakan merupakan masalah yang sebaiknya menjadi prioritas bagi pemerintah supaya tidak terjadi tax evasion/tax
avoidance.

Aturan etika yang fundamental dalam praktik perpajakan pada tingkat etika
personal adalah praktisi pajak harus mengijinkan klien untuk membuat
keputusan final. Praktisi tidak berhak mengganti skala nilai kliennya.
Disamping itu praktisi harus bertanggung jawab tidak menyediakan informasi
yang salah untuk pemerintah. Dan Kompleksitas aturan perpajakan seharusnya
lebih diperhatikan oleh pemerintah untuk mengurangi adanya tax evasion
maupun tax avoidanc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar